30 September 2011
Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang Wajib Hukumnya!
Musrenbang adalah forum aspirasi bagi masyarakat dan perempuan. Forum ini diselenggarakan berjenjang mulai dari tingkat kelurahan/desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Hasil forum itu ialah Rencana Kerja Pemerintah Daerah, yang berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan. Musrenbang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Kebijakan-kebijakan yang melindungi dan menjamin partisipasi perempuan dalam Musrenbang antara lain: UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW); Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan PUG dan Pembangunan Nasional; Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah; Perpres No. 21 Tahun 2009 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010; Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK 02/2010 tentang Petunjuk penyusunan dan Penelaahan (Rencana Kerja dan Anggaran-Kementerian/Lembaga (RKA-KL) dan Pengesahan Pelaksanaan DIPA TA. 2011.
Perencanaan pembangunan nasional dan daerah yang baik, maka prosesnya harus melibatkan partisipasi masyarakat, dari semua golongan, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa diskriminasi dan pelanggaran HAM apalagi UUD 1945. Dengan demikian, kelak akan menghasilkan rancangan pembangunan yang sesuai kehendak rakyat dan dibutuhkan oleh masyarakakat atau perempuan.
Apakah demikian realitasnya? Kebijakan-kebijakan yang ada tidak serta merta membuka ruang partisipasi perempuan dalam musrenbang, karena semua itu tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh pemerintah. Bahkan, sering diabaikan! Perempuan secara sengaja atau tidak, jarang terlibat dalam Musrenbang. Perannya dalam tiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, implementasi, menikmati manfaat hasil pembangunan, sampai evaluasi proses pembangunan, dipeti-eskan begitu saja.
Dalam Musrenbang diberbagai tingkatan, perwakilan masyarakat yang terlibat di dominasi kaum laki-laki. Sebagian besar perempuan tidak memperoleh informasi dan kesempatan untuk terlibat dalam Musrenbang. Akibatnya, kepentingan perempuan tidak ada dalam perencanaan pembangunan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Pada gilirannya, pembangunan yang dilaksanakan jauh dari muatan kepentingan strategis dan kebutuhan praktis perempuan.
Ini patut dikritisi, meskipun pemerintah telah membentuk Focal Point PUG dan Kelompok Kerja PUG (Pokja PUG) di tingkat pusat dan daerah, namun peran mereka untuk mensosialisasikan pentingnya partisipasi perempuan dalam Musrenbang dan memastikannya, hanya pepesan kosong. Oleh karena itu, diperlukan strategi bersama kelompok organisasi masyarakat sipil untuk memastikan partisipasi perempuan dalam Musrenbang di berbagai tingkatan.
Minimnya partisipasi perempuan dalam Musrenbang akhirnya berdampak pada alokasi anggaran pembangunan yang ada. Kita semua mungkin sudah mengenal istilah Anggaran Responsif Gender (ARG), yakni anggaran yang adil setara dan memberi manfaat sebesar-besarnya kepada kaum laki-laki dan perempuan. Namun, hal itu belum terimplementasi secara baik.
Apabila kita lihat dari postur RAPBN 2012, yang tidak jauh berbeda dengan APBN-P 2011, maka belum berorientasi kepada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Belanja pegawai saja mencapai Rp. 215,7 trilyun (untuk 4,7 juta orang; meningkat Rp. 32,8 trilyun dari tahun 2011). Sementara anggaran untuk orang miskin yang mencakup 31 juta penduduk miskin lebih, hanya Rp. 50 trilyun. Begitu pula anggaran kesehatan, tak sesuai dengan ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang mewajibkan alokasi anggaran minimal 5% dari APBN. Pemerintah dan DPR hanya mengalokasikan Belanja Kesehatan di luar komponen gaji, sebesar Rp. 24,98 trilyun (sekitar 1,89 % dari APBN 2011). Banyak lagi contoh pelanggaran Negara terhadap UUD 1945 terkait politik anggaran yang ada saat ini. Dengan demikian, kami serukan bahwa partisipasi perempuan dalam Musrenbang adalah wajib hukumnya!
Kalyanamitra sebagai lembaga non-pemerintah yang focus pada isu-isu hak asasi perempuan berkepentingan dalam mendorong dan mengadvokasi bahwa partisipasi perempuan di ruang publik dan secara khusus di dalam Musrenbang, berjalan optimal. Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan mewujudkan keterlibatan perempuan dalam musrenbang, Kalyanamitra, Raising Her Voice (RHV) dan Oxfam GB, pada 26-27 September 2011, menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya “Membangun Strategi Advokasi untuk Meningkatkan Keterlibatan Perempuan dalam Musrenbang”. Acara ini dihadiri oleh perwakilan organisasi masyarakat sipil dari berbagai daerah dan komunitas dampingan, seperti Jakarta, Bandung, Jawa Timur, Aceh, Papua, dan lainnya.****(JK) http://kalyanamitra.or.id/newsdetail.php?id=0&iddata=410
Tidak ada komentar:
Posting Komentar