Rabu, 21 September 2011

MUSPANI SH: Penyalahgunaan Kewenangan (Abuse Of Power) dan Pelanggaran HAM oleh Penyelidik KPK

PRESS RELEASE

Kesungguhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tanpa dibarengi profesionalisme pada semua aparatnya. Kejadian yang termasuk langka ini terjadi di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

Di latar belakangi dengan permintaan keterangan untuk klarifikasi/didengar keterangan sehubungan dengan pengesahan perda nomor 12 tahun 2010 Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Menurut kantir Advokat Muspani SH, bahwa KPK telah melakukan pemeriksaan atas dugaan suap/gratifikasi sehubungan dengan pengesahan Perda Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pengikatan Dana Anggaran Infrastruktur di Kabupaten Seluma.  Atas dugaan tersebut KPK telah memanggil seluruh anggota DPRD Kabupaten Seluma untuk dimintai keterangan, berdasarkan data yang kami peroleh terdapat lebih kurang 11 (sebelas) anggota DPRD yang telah mengaku dan mengembalikan uang, sedangkan sebagian lain yang diperiksa tidak mengakui menerima uang atau gratifikasi dari pihak manapun (para klien kami).

Dalam penelusuran Tim Penasehat Hukum dari Kantor Muspani SH terhadap kasus   tersebut terdapat kejanggalan-kejanggalan. Disertai dengan tindakan-tindakan penyelidik KPK yang bertentangan dengan azas kepatutan, Hak Azasi Manusia dan hukum yang secara lengkap diuraikan sebagai berikut:

I.    KASUS POSISI

  1. Bahwa perkara ini berawal dari adanya laporan yang diduga dilakukan oleh Azwar Burhan (bekas kepala Dinas PU yang berhenti) dan pengakuan dua anggota DPRD yaitu Mufran Imron (anggota DPRD/bekas calon bupati), dan Mulyan Lubis (anggota DPRD/ bekas calon wakil bupati) tentang dugaan tindak pidana korupsi berupa menerima suap dan/atau gratifikasi dari PT.Puguk Sakti Permai (PT. PSP) sebesar Rp.100jt/anggota DPRD dalam pengesahan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010;

  1. Bahwa laporan tersebut di tindak lanjuti oleh penyelidik KPK dengan melakukan permintaan keterangan terhadap seluruh anggota DPRD Kabupaten Seluma dimana sebanyak 17 Anggota Dewan tersebut adalah klien kami sebagaimana Surat Kuasa Khusus tanggal 21 Juli 2011 , dengan status untuk kepentingan “permintaan keterangan”.

3.    Bahwa dalam status “sebagai tamu KPK” klien kami memenuhi undangan KPK untuk diminta keterangan sehubungan dengan perkara yang sedang diselidiki KPK tersebut, namun dalam pemeriksaan penyelidik KPK melakukan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan kode etik KPK serta undang-undang terkait, dimana permintaan keterangan tersebut dilakukan dengan cara; mengarahkan, menekan, menghina, membentak dengan kata-kata kotor, mengancam, bahkan mengambil sumpah di luar prosedur hukum, dimana fakta-fakta tersebut secara lengkap tertuang dalam testimony masing-masing saksi yang diperiksa. Dan dalam kesempatan ini secara khusus kami melaporkan seluruh tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum dan kode etik KPK yang dialami oleh klien kami: Ismadia dan suaminya Yulian Hardi, Sebagai berikut:

a.   Keterangan Ismadia
Bahwa klien kami Ismadia adalah salah satu anggota DPRD Kabupaten Seluma dari Fraksi Demokrat, diundang untuk diminta keterangan pada hari kamis tanggal 19 Mei 2011 Pukul 11.00 wib, klien kami diperiksa oleh penyelidik komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bernama Desi, Djaenal Arifin, Arif, dan lain-lain, yang klien kami tidak mengetahui namanya.  Bahwa pada saat pemeriksaan, klien kami dalam keadaan hamil 6 bulan, kehamilan anak pertama yang lama ditunggu setelah tiga tahun menikah. Dalam pemeriksaan, klien kami telah menyatakan dalam kondisi yang tidak sehat karena pengaruh kehamilan, klien kami telah menyatakan siap untuk memberikan keterangan sepanjang yang klien kami ketahui sehubungan dengan “undangan” KPK.

Bahwa keterangan klien kami dalam pemeriksaan, tidak sesuai dengan keinginan atau kehendak yang diarahkan oleh penyidik KPK dimana klien kami disuruh mengakui telah menerima sejumlah uang dari Bupati seluma, Pemerintah Daerah Seluma, dan atau dari PT. PSP yang diduga KPK melakukan tindakan suap atau gratifikasi terhadap Anggota Dewan.

Bahwa klien kami tidak melakukan apa yang diminta oleh penyelidik KPK. karena bantahan tersebut, klien kami diperlakukan secara kasar, dibentak, diancam, dan diintimidasi dengan cara penyelidik memukul meja. Meskipun klien kami telah membuat pernyataan berulang-ulang bahwa klien kami tidak melakukan perbuatan tersebut, namun penyelidik KPK dengan segala upaya memaksa klien kami untuk mengakuinya.

Bahkan salah satu penyelidik bernama Desi menekan psikologi klien kami dengan cara menyumpah klien kami bahwa nanti tidak akan melahirkan dengan selamat. Desi menantang dan mengatakan “apa anda berani sumpah?!” Ismadia menjawab “saya berani sumpah”. kata Desi “baik saya akan ambilkan Alquran”.

Sedangkan penyelidik yang lain yang klien kami tidak ketahui nama-namanya mengancam dengan perkataan: “ingat ya, kami pastikan anda akan menjadi tersangka dan anda akan melahirkan di penjara! Nanti akan ada tim yang menjemput dan menyeretmu ke penjara, kamu akan malu dengan keluarga dan lingkunganmu”.

Ismadia hanya bisa terdiam, tidak bisa berkata-kata apa-apa lagi karena  merasa tertekan dan diancam secara bersama-sama oleh penyelidik KPK. Dengan kondisi fisik dan psikis yang lemah, Ismadia merasa tidak sanggup lagi melanjutkan pemeriksaan dan saat itu sudah merasa kesakitan karena duduk terlalu lama.

Mengingat waktu telah menunjukkan pukul 19.00 WIB dan Ismadia tetap dengan keterangannya yang telah disampaikan dalam pemeriksaan, selanjutnya disuruh pulang untuk berpikir kembali dan akan diperiksa pada keesokan harinya dengan catatan agar membawa suami.

b.    Keterangan Suami Ismadia (Yulian Hardi)
Keesokan harinya, pada hari Jumat, tanggal 20 Mei 2011, Ismadia dan suami  menghadiri permintaan penyelidik KPK untuk permintaan keterangan. Dan hadir pula suami Ismadia yang dimintai keterangan walaupun tanpa surat resmi dari KPK. Pada saat itu, kembali penyelidik KPK, Djaenal Arifin Dkk menanyakan kepada Ismadia dan suami, apakah ada perubahan keterangan. Ismadia menjawab, tidak. Kemudian penyelidik KPK menanyakan kepada suami Ismadia dengan pertanyaan yang sama: apakah kamu menerima uang Rp 100 juta dari Bupati Seluma, Pemda seluma, atau PT. PSP? Suami Ismadia menjawab, “tidak, saya tidak tahu menahu masalah tersebut’.
Atas jawaban tersebut penyelidik KPK bereaksi menyatakan bahwa Ismadia dan suaminya berbohong, dan menanyakan kepada suami Ismadia, “kamu bekerja sebagai apa?”. Dijawab “saya bekerja sebagai Pegawai negeri Sipil”. Penyelidik KPK menjadi marah seraya membanting fotocopy berkas ke atas meja. Penyelidik KPK bernama Djaenal Arifin lalu mengatakan kepada suami Ismadia bahwa “kamu akan dipecat dari PNS kalau tidak mengakui menerima pemberian dari Bupati Seluma atau PT. PSP sehubungan dengan penerbitan Perda No. 12 tahun 2010”.

Bahwa karena tetap pada keterangannya, akhirnya penyelidik KPK memaksa  Ismadia dan suaminya untuk bersumpah seperti yang dilakukan oleh penyelidik KPK bernama Desi di hari pertama dimintai keterangan.  Ismadia dan suami menyatakan sanggup untuk disumpah. Akhirnya penyelidik dengan kesal membawa Al-Quran dan seorang ustadz, Juru Foto dan kameramen yang dikatakan oleh penyelidik adalah orang media dan mengancam akan menyebarkan sumpah tersebut ke media massa. Walau dengan ancaman seperti itu, klien kami tetap menyatakan siap untuk disumpah. Akhirnya klien kami disumpah bersama suami oleh Ustadz, difoto dan direkam dengan kamera. Klien kami dan suami, sambil memegang Al-Quran, mengikuti kata-kata sumpah oleh orang yang dikatakan sebagai ustadz, sebagai berikut:

1.    Sumpah terhadap Ismadia:
“ Demi Allah, saya tidak pernah menerima pemberian dari Bupati Seluma, Pemerintah Daerah Seluma, dan PT PSP, kalau saya berbohong maka saya, keluarga saya, anak atau calon anak saya akan mendapat kutukan dari Allah”
2.    Sumpah terhadap Suami Ismadia:
Demi Allah saya tidak pernah menerima pemberian dari Bupati Seluma (Murman Efendi), Pemda Seluma dan PT PSP berkenaan dengan penerbitan Perda No 12 Tahun 2010 yang dimana istri saya selaku anggota DPRD Seluma. Kalau saya berbohong maka saya, keluarga saya, anak atau calon anak saya akan mendapat kutukan dari Allah
Bahwa selama dalam pemeriksaan, Ismadia tidak tahan terhadap tekanan tersebut dan hanya bisa menangis karena secara psikologis, klien kami merasa sangat tertekan, mengingat kondisi saat itu dalam keadaan mengandung di mana mengkhawatirkan anak yang dikandungnya.
Selanjutnya setelah disumpah, klien kami dan suaminya disuruh pulang.

4.    Bahwa pelaksanaan sumpah dan kata-kata sumpah yang dilakukan terhadap Ismadia yang sedang hamil 6 bulan dan suaminya adalah suatu bentuk pelecehan terhadap hak-hak perempuan (diskriminatif) dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dimana kata-kata sumpah yang dibacakan tersebut melanggar norma sebagaimana diatur undang-undang.

5.    Bahwa selain itu penyelidik KPK secara melawan hukum telah pula melakukan pemeriksaan dan juga sumpah terhadap suami klien kami tersebut tanpa melalui prosedur pemanggilan yang patut menurut hukum, dimana tindakan tersebut dilakukan oleh penyelidik KPK adalah untuk menekan klien kami (Ismadia) untuk mengaku suatu perbuatan yang ditolak diakui oleh klien kami tersebut.

6.    Bahwa sebagai akibat dari tekanan psikologis dari perilaku yang tidak patut yang dialami dalam permintaan keterangan tersebut, saat ini kondisi kesehatan  klien kami terus memburuk, dan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri dan anak yang berada dalam kandungan klien kami tersebut, maka hal ini harus menjadi tanggungjawab KPK baik secara hukum maupun kelembagaan.

7.    Bahwa melalui permohonan ini secara khusus kami meminta Komnas Perempuan untuk menindaklanjuti, melakukan tindakan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan hukum klien kami, serta mengadvokasi secara tuntas persoalan tersebut, untuk itu kami meminta Komnas Perempuan untuk melihat klien kami secara langsung di Bengkulu, karena keadaan kesehatannya saat ini tidak mampu hadir sendiri untuk melaporkan persoalan tersebut dihadapan Komnas Perempuan di Jakarta.

8.    Bahwa perlakuan yang serupa juga dialami oleh klien kami yang lain  (anggota DPRD) Kabupaten Seluma dimana seluruh keterangan-keterangan yang diberikan dihadapan penyelidik KPK dilakukan dengan diawali dengan cara-cara adanya tekanan, ancaman, perkataan kotor, dan mengarahkan keterangan oleh penyelidik KPK, janji pengurangan hukuman, adanya hubungan keluarga antara penyelidik KPK dengan pelapor, adanya “sumpah ancaman” yang seharusnya tidak ada dalam prosedur dan aturan penyelidikan KPK (sebagaimana testimoni dari masing-masing Anggota DPRD Kab.Seluma terlampir).

II. Konflik Kepentingan Penyelidik KPK dalam Perkara ini

Bahwa kami menemukan fakta hukum adanya konflik kepentingan dan atau konspirasi dari penyelidik KPK terhadap pelapor dalam perkara ini, sesuai dengan testimoni saksi bernama Darsan dan Sudiman (terlampir), dimana konflik kepentingan tersebut terjadi sebagai berikut;
a.    Adanya hubungan keluarga salah satu penyelidik KPK bernama Djaenal arifin dengan pelapor bernama Azwar Burhan (orang yang berkepentingan dengan perkara ini). Hal tersebut dilarang oleh undang-undang  sebagaimana dalam Pasal 66 Huruf a dan b, UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan korupsi.
b.    Adanya konspirasi dan kerjasama antara penyelidik KPK dengan Mufran Imron dan Mulyan Lubis (sebagai pelapor) dimana mereka memberikan janji akan menggunakan pasal yang meringankan dan bahkan membuat pengecualian sebagai tersangka bagi anggota-anggota DPRD Kabupaten Seluma yang mau “bekerjasama” dengan KPK dengan memberikan keterangan sesuai dengan arahan dan keinginan penyelidik KPK (testimony terlampir).
c.    Pemanggilan KPK untuk Meminta Keterangan kepada  Anggota DPRD yang diminta keterangan tidak sesuai dengan prosedur yang dikatakan bersifat rahasia. Informasi pemanggilan KPK justru diketahui dan diterima melalui Mufran Imron.
              
III.KPK TERJEBAK DALAM KONFLIK POLITIK LOKAL DALAM PERKARA INI

Bahwa pelaporan dan pengungkapan kasus yang saat ini diperiksa KPK, dilatarbelakangi oleh konflik politik lokal antara aktor-aktor/tokoh-tokoh politik di Kabupaten seluma, yang secara keseluruhan terlibat dalam perkara ini. Hal ini dibuktikan sebagai berikut:

a. Kelompok Pelapor: Mufran Imron, Mulyan Lubis, dkk
Kelompok pelapor yakni Mufran Imron dan Mulyan Lubis (berdasarkan keterangan Sudiman dan Darsan) adalah calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Kabupaten Seluma yang dikalahkan oleh Murman Effendi pada Pimilihan bupati dan Wakil Bupati Kabupaten seluma Periode 2010 – 2015, dimana Murman Effendi telah ditetapkan tersangka dalam perkara ini, sedangkan nama-nama sebagai berikut:
1.    Junaidi SP;
2.    Fauzan Izami;
3.    Zainal Arifin;
Merupakan Anggota DPRD pengusung pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Rosnaeni Abidin dan Bustami TH yang juga dikalahkan oleh Murman effendi pada pemilukada kabupaten seluma periode 2010 – 2015.
4.    Midin Amad
Merupakan calon Bupati pada pemilihan Bupati Kabupaten Seluma Periode 2005 – 2010 yang juga dikalahkan oleh Murman Effendi dalam pemilukada tersebut.
     
b. Kelompok Azwar Burhan, dkk
Adalah mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kab. Seluma pada tahun 2010 yang menjabat lebih kurang 2 bulan, dan diberhentikan oleh Bupati Murman Effendi.(berdasarkan testimony Sudiman dan Darsan).

Bahwa kelompok tersebut di atas, adalah kelompok pelapor yang telah merekayasa dengan melibatkan penyelidik KPK, seolah-olah terjadi penyuapan/pemberian janji di dalam proses pengesahan Perda Nomor 12 Tahun 2010.  Hal tersebut mengakibatkan terseretnya Anggota DPRD Seluma (klien kami) yang dituduh menerima sejumlah uang dari bupati seluma, Pemda Seluma atau PT. PSP.


IV.OBJEKTIVITAS HASIL PEMERIKSAAN PENYELIDIK KPK

Berdasarkan uraian di atas kami mempertanyakan objektivitas hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penyelidik KPK terhadap seluruh klien kami, baik dalam bentuk BAP atau dalam bentuk apapun yang menimbulkan kerugian hukum sebagai akibat dari sikap yang tidak professional dari para penyelidik KPK tersebut, oleh karena itu kami menolak seluruh hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penyelidik KPK tersebut.
 

V.   PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN

Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas telah terjadi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh penyelidik KPK yang memeriksa perkara ini. Di samping telah melanggar Hak Asasi Manusia, juga melanggar berbagai undang-undang yang seharusnya dipatuhi oleh penyelidik KPK sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan yang sangat besar dalam mengungkap perkara tindak pidana korupsi.

Bahwa tidak adanya penerapan SOP yang jelas dari KPK dalam proses penyelidikan menyebabkan peluang terjadinya tindakan konspirasi dan penyalahgunaan kewenangan dalam memeriksa orang yang dalam status diminta keterangan/saksi, hal tersebut menimbulkan terjadinya konflik kepentingan yang tidak mampu dilihat dan diawasi oleh KPK.

Bahwa kami mencatat berbagai peraturan perundang-undangan yang dilanggar adalah sebagai berikut:

Pasal Penyelidik KPK tidak boleh memiliki konflik kepentingan, yaitu Pasal 66 UU tentang KPK menyatakan: Dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang:

a.  mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa alasan yang sah;
b.  menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.

Pasal 65 UU tentang KPK menyatakan:
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal KUHAP yang dilanggar oleh Penyelidik/Penyidik :
Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 menyatakan Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 : a. karena kewajibannya mempunyai wewenang :  4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab.

Penjelasan Pasal 5 Ayat (1).Huruf a Angka 4 KUHAP menyatakan, Yang dimaksud dengan "tindakan lain" adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat :
a)  tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b)  selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
c)  tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d)  atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e) menghormati hak asasi manusia.

Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP menyatakan: (1) Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai tatacaranya.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.

Pasal 116 ayat (1) KUHAP menyatakan, Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.

Pasal 117 ayat (1) KUHAP : Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.

Pasal Perlindungan Saksi Yang Dilanggar Penyelidik KPK adalah sebagai berikut:

Bahwa ancaman, adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana (Pasal 1 angka 4 UU Perlindungan Saksi dan Korban).

Pasal 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:
a.    penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
b.    rasa aman;
c.    keadilan;
d.    tidak diskriminatif; dan
e.    kepastian hukum.

Pasal 4 UU Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan “Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.”

Pasal 5 ayat (1)  huruf a, c, e  UU Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan “Seorang Saksi dan Korban berhak:
a.  memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
c.  memberikan keterangan tanpa tekanan;
e.  bebas dari pertanyaan yang menjerat.”

Pasal 18 ayat (4) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang hak Asasi manusia: Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 14 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik), jo Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik: Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.

Beberapa Pasal Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 05 P.KPK Tahun 2006 Tentang Kode Etik Pegawai yang telah dilanggar oleh penyelidik KPK adalah sebagai berikut :
Pasal 4
(1) Pegawai Komisi wajib menyetujui dan menandatangani sumpah dan janji Pegawai Komisi;
(2) Bunyi sumpah dan janji Pegawai Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh Komisi.
Pasal 5
Pegawai Komisi wajib melaksanakan  nilai-nilai  dasar  pribadi (basic  individual values)  sebagai berikut:
a. Integritas,  bersikap,  berprilaku  dan  bertindak  jujur terhadap  diri  sendiri  dan  lingkungan,  objektif  terhadap permasalahan, memiliki  komitmen  terhadap  visi  dan misi, konsisten  dalam  bersikap  dan  bertindak,  berani  dan  tegas dalam  mengambi l   keputusan  dan  resiko  kerja,  disiplin  dan bertanggungjawab  dalam  menjalankan tugas dan amanah;
b. Profesionalisme,  berpengetahuan  luas,  berketrampilan  yang tinggi  sehingga mampu  bekerja sesuai  dengan  kompetensi, mandiri  tanpa  intervensi  pihak  lain,  konsisten  dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan  tugas;
d.  Transparansi, setiap pelaksanaan  tugas dapat  terukur dan dapat dipertanggungjawabkan  serta  senantiasa  dievaluasi  secara berkala dan  terbuka untuk  semua  stakeholder Komisi;
f.   Religiusitas,  berkeyakinan  bahwa  setiap  tindakan  yang dilakukan berada di bawah pengawasan Sang Pencipta, tekun melaksanakan  ajaran  agama,  mengawali  setiap  tindakan selalu didasari niat ibadah sehingga apa yang dilakukan harus selalu  lebih baik dari yang kemarin;
Pasal 6
Kode  Etik  dilaksanakan  tanpa  toleransi  sedikitpun  atas penyimpangannya (zero  tolerance) dan mengandung sanksi  tegas bagi Pegawai Komisi yang melanggarnya.
Pasal 7
(1)  Pegawai Komisi wajib:
a.  mengamalkan perilaku dan tingkah laku sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut;
c. Mematuhi atauran hukum, aturan kepegawaian Komisi, Kode Etik Pegawai Komisi dan sumpah dan janji Pegawai Komisi;
d. melaksanakan  tugas dengan penuh  tanggungjawab,  jujur dan profesional;
g.  senantiasa menjaga  sikap  netral  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya;
k.  memberikan komitmen dan  loyalitas kepada Komisi di atas  kepentingan  dan  loyalitas  teman  sejawat  dan mengesampingkan  kepentingan  pribadi  atau  golongan demi  tercapainya visi dan misi Komisi;
l.   bersikap  ramah dan  santun kepada  setiap  tamu Komisi;
(2)  Pegawai Komisi dilarang:
c.  bersikap diskriminatif melalui tindakan atau pernyataan terhadap  rekan kerja,  tamu, bawahan ataupun atasan;
d. berhubungan  secara  langsung  maupun  tidak  langsung dengan  terdakwa,  tersangka  dan  calon  tersangka  atau keluarganya  atau  pihak  lain  yang  terkait,  yang penanganan  kasusnya  sedang  diproses  oleh  Komisi Pemberantasan  Korupsi,  kecuali  oleh  Pegawai  yang melaksanakan  tugas karena perintah  jabatan;
f. menyampaikan data dan/atau  informasi yang diketahui, didengar atau diperolehnya terutama terkait tugas-tugas Komisi  yang wajib  dirahasiakan,  kepada  pihak media atau  pihak  lain  yang  tidak  berhak  tanpa  persetujuan tertulis Pimpinan Komisi;
h. melakukan  kegiatan  lainya  dengan  pihak-pihak  yang secara  langsung atau  tidak  langsung yang patut diduga menimbulkan benturan kepentingan dalam menjalankan tugas, kewenangan dan posisi  sebagai pegawai Komisi;

VI.TUNTUTAN

Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, kami meminta pihak-pihak sebagai berikut:
1.    Komnas Perempuan
2.    Komnas HAM
3.    Komisi III DPR-RI
4.    LPSK

Untuk melakukan tindakan-tindakan hukum sesuai dengan kewenangan masing-masing terhadap persoalan yang dialami oleh klien kami tersebut, dengan melakukan :
1.    Mempertimbangkan kembali pola pemeriksaan yang sifatnya tertutup “camp konsentrasi” ala KPK, yang berada di lantai VII dan VIII gedung KPK yang dijadikan tempat pemeriksaan pada tahapan “undangan permintaan keterangan” maupun pemeriksaan tingkat saksi, yang bertentangan dengan prinsip KUHAP, Hak Azasi Manusia, UU KPK serta kode etik KPK.
2.    Melindungi klien kami sebagaimana tersebut di atas, dari segala ancaman, intimidasi maupun tindakan-tindakan lain yang merugikan sebagai akibat dari laporan ini oleh KPK.
3.    Memanggil pihak KPK untuk mempertanggung jawabkan secara hukum terhadap tindakan maupun perbuatan sebagaimana yang disebutkan di atas.
4.    Meminta KPK untuk memeriksa oknum-oknum penyelidik KPK yang telah melakukan tindakan pelanggaran etik dan hukum.
5.    Meminta supaya KPK memberlakukan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas dalam setiap tingkat pemeriksaan (permintaan keterangan, keterangan saksi) untuk menghindari potensi pelanggaran HAM lebih lanjut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar